HIMBAUAN UMUM!”61 TAHUN  PERJANJIAN ROMA AGREEMENT ILEGAL DI PAPUA 30 SEPTEMBER 1962-30 SEPTEMBER 2023″


 

Perjanjian Roma/Roma Agrement diadakan di Roma, Ibu Kota Italia pada 30 September 1962 setelah Perjanjian New York/New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Kedua perjanjian tersebut dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat Papua pada hal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua. Berikut isi Perjanjian Roma (Roma Agreement):

Perjanjian Roma yang ditandatangani oleh Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat merupakan perjanjian yang sangat kontroversial dengan 29 Pasal yang mengatur dalam perjanjian New York, yang mengatur 3 macam hal, dimana Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Dan Pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA kepada Indonesia.

Sehingga, berdasarkan perjanjian tersebut, klaim Indonesia atas tanah Papua sudah dilakukan pasca penyerahan kekuasan Wilayah Papua Barat dari tangan Belanda kepada Indonesia melalui Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA pada 1 Mei 1963. Selanjutnya Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib sendiri dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.

Klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Sehingga, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak suara, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.

Keadaan yang demikian ; teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi hingga dewasa ini diera reformasi-nya Indonesia. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia. Sebelum dan sesudah PEPERA yang ilegal di lakukan ada pun, DOM (Daerah Operasi Militer) di lakukan di seluruh tanah Papua, dari tujuan-nya Indonesia mengkoloni Papua Barat sebagai daerah jajahan sampai Saat ini dengan militeristik dan system yang ganas.

Selama tahun 1961 hingga 2021 tercatat 22 Operasi Militer yang sudah Meneror, Mengintimidasi, Mutilasi serta Memperkosa Perempuan Papua untuk mengusai seluruh asset kekayaan Alam di tanah Papua. Bahkan sepanjang tahun- tahun itu, rakyat Papua harus mengungsi mencari tempat aman.

Bahkan, dalam kurun waktu 2017-2022 terjadi pengungsian secara massal di beberapa wilayah diantaranya Nduga, Timika, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo dan Yapen. Dewan Gereja dalam laporan terbaru melaporkan lebih dari 60.000 rakyat Papua mengungsi. Artinya selama 4 tahun berturut-turut rakyat Papua tidak merayakan Natal sebagai Hari Besar umat Kristen. Selain disebutkan diatas, proses pemiskinan secara ekonomi, pelayanan kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak layak dan persoalan di berbagai sektor dilakukan negara dengan sadar dan terencana.

Bukan hanya itu, Jokowi Bersama mentri dalam Negeri Tito Karnavian serta para antek – anteknya ikut terlibat dalam  penangkapan Viktor Yeimo serta seluruh tanahan politik lainnya di West Papua serta ikut terlibat juga dalam Pemekaran provinsi yang sebelumnya ada dua Provinsi Papua dan Papua Barat kini bertambah menjadi 6 provinsi yakni Papua Barat Daya, Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Pegunungan Tengah. Yang sudah tentu, ini merupakan awal kehancuran orang Papua di tanah sendiri. Awal dimana perampasan tanah, air, udara, serta laut yang akan massif serta meloloskan kepentingan negara – negara maju untuk mengambil sumber daya alam serta membunuh rakyat Papua atas nama Infrastruktur.

Sejak pemilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir tahun 2014 hingga 2023, Kapitalisme Global dan militer [ TNI dan POLRI ] bekerja sama dan membiarkan terus mengakumulasi lebih banyak kekuasaan dan anggaran dengan melanggengkan struktur komando teritorial yang mengizinkannya mengakses SDA secara legal maupun ilegal. Sejak lama, pemeritah pusat dan pemerintah local, militer dan kapital global terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal di West Papua, termasuk di usaha penebangan kayu dan pengamanan perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan, yang juga disertai penggusuran orang-orang West Papua dari tanahnya. Militer, Pemerintah Indonesia dan elit local juga merupakan penerima alokasi dana Otsus dalam jumlah yang besar, dua per persen dari anggaran nasional Indonesia, serta dana pembangunan, dan dana infrastruktur. Bupati-bupati terpilih memiliki anggaran yang bisa diakses militer untuk melakukan operasi militer melawan dugaan ancaman pemberontak di West Papua.

Kendati UU Otonomi Khusus Jilid I – II , G – 20, Omnibus, UU Minerba, UU KUHP serta seluruh kebijakan negara hanya untuk kepentingan Eksploitasi Kapital Modal di Tanah West Papua. Sehingga, aparat keamanan [ TNI dan POLRI ] menjadi anjing penjaga para pemodal untuk meraup banyak untung dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah, bahkan TNI dan POLRI dengan dalih operasi kontrapemberontakan dan transmigrasi terus memperlancar aktivitasnya Di Papua. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi secara damai terus berlanjut. Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan, dan, tidak ketinggalan, tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI/Polri.

Bahkan setelah UU Otsus disahkan Presiden Jokowi mengizinkan militer Indonesia memperluas struktur teritorialnya dengan membangun dua komando daerah militer (kodam) baru, di Provinsi Papua dan Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Pegunungan serta Papua selatan. Pihak militer mengklaim bahwa hal ini diperlukan dalam rangka melawan gerakan perlawanan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Namun, TPNPB tidak hadir dalam jumlah yang signifikan di tanah West Papua. Tampaknya militer tengah berusaha menjustifikasi penambahan struktur komando teritorial yang bisa membuat mereka terus melanggengkan kepentingan bisnisnya.

Sedangkan, dilain sisi Jokowi – Maruf Amin serta Mahfud Md tidak mau mendengarkan apa keinginan TNPN PB dan Rakyat Papua, untuk segera lakukan ‘’PERUNDINGAN’’ melainkan pemerintah Indonesia membantah pernyataan tersebut, hingga darah terus berjatuhan di atas tanah Papua.

Maka, Dalam rangka peringatan 61 Tahun Perjanjian Roma/Roma Agreement yang Ilegal kami menghimbau kepada seluruh kawan kawan di medan perjuangan, kepada kawan peduli kemanusian untuk bersolidaritas setiap aksi yang akan di lakukan oleh Rakyat Papua dan  Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) 14 komite kota.

Demikian himbauan ini, atas dukungan, solidaritasnya, kami ucapkan banyak terima kasih, kita pasti menang.

#romaagremeentilegal #indonesiapenjajah #cabutotsus #cabutdob #cabutomnibus #referendumyes #papuamerdeka

Sumber: Koran Kejora 

Berita Terkait

Top